Indonesia (Tidak) Akan Resesi Seks?

Indonesia (Tidak) Akan Resesi Seks?

Ramai di berbagai media mengenai isu Indonesia akan menghadapi resesi seks, di mana menurut kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) seperti dilansir oleh Kompas Indonesia, banyak yang menunda memiliki anak dan menikah sehingga bukan tidak mungkin resesi seks akan terjadi nantinya di Indonesia. Terlebih terdapat data yang menunjukkan beberapa kabupaten mengalami zero growth atau alias angka kelahiran dan kematian realtif sama.

Sekarang mari kita bahas mengenai hal tersebut, dan pendapat saya mengenai isu ini. Sebelumnya kita akan membahas mengenai definisi sesungguhnya dari resesi seks itu sendiri. Isu resesi seks pertama kali ditulis oleh Kate Julian di laman The Atlantic, di mana ia menyatakan bahwa remaja dan orang dewasa di Amerika mengalami penurunan untuk melakukan hubungan seks dibanding generasi sebelumnya. Inilah yang ia kemudian sebut sebagai resesi seks alias penurunan frekuensi berhubungan seksual.

Adapun menurutnya, ada 5 faktor utama yang menyebabkan terjadinya resesi seks di Amerika, antara lain:

  1. Mudahnya akses pornografi. Akibatnya anak muda lebih memilih untuk menyalurkan hasratnya melalui masturbasi dibandingkan dengan berhubungan seksual.
  2. Semakin berkurangnya waktu untuk anak muda dapat pacaran. Hal ini sebagian besar diakibatkan oleh orang tua di era sekarang yang mengalokasikan waktu anak-anaknya untuk melakukan pengembangan diri.
  3. Penggunaan aplikasi pencari jodoh online seperti tinder. Maraknya aplikasi-aplikasi tersebut membuat anak muda lebih banyak berhubungan secara digital tanpa tatap muka secara langsung.
  4. Nyeri saat berhubungan seksual. Satu pertiga pasangan yang melakukan hubungan seks mengalami nyeri yang kemudian dapat membuat seseorang menjadi trauma untuk melakukan hubungan seks. Sedikit banyak hal ini diakibatkan oleh minimnya edukasi seks pada pasangan.
  5. Menjaga privasi terhadap tubuhnya. Adanya perubahan kultural, di mana era dahulu banyak anak muda yang sering mandi bersama-sama sehingga ia lebih percaya diri terhadap bentuk tubuhnya dan berimbas baik terhadap kehidupan seksualnya.

Dari poin-poin di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya resesi seks adalah terjadinya penurunan hubungan seksual yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor lingkungan dan pengalaman. Sebagian besar faktor-faktor tersebut lebih banyak mengenai anak muda, walaupun data juga menunjukan usia tua juga terdampak penurunan.

Resesi seks memiliki irisan yang cukup berbeda dengan orang yang tidak ingin memiliki keturunan alias childfree. Karena bisa saja seseorang sudah memiliki banyak keturunan, namun ia kemudian memilih mengurangi berhubungan seks karena ada faktor-faktor lain yang menyebabkan ia menjadi tidak bergairah untuk berhubungan.

Childfree didefinisikan sebagai pasangan yang tidak ingin memiliki keturunan, baik secara biologis ataupun adopsi. Isu mengenai childfree ini sendiri sempat heboh dibincangkan di Indonesia beberapa waktu lalu. Childfree ini perlu dibedakan dengan childless, di mana childless adalah kondisi pasangan yang sebenarnya ingin memiliki keturunan, tetapi ia tidak dapat karena berbagai faktor yang mengalangi seperti gangguan kesuburan.

Pasangan yang childfree sendiri bukan otomatis mereka melakukan resesi seks, karena mereka masih melakukan hubungan seksual untuk kebahagiaan, tetapi melakukan metode kontrasepsi agar tidak terjadi kehamilan.  Bahkan terdapat sebuah buku yang berpendapat bahwa pasangan yang melakukan childfree memiliki kebahagiaan lebih baik saat berhubungan seks.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah betul Indonesia akan mengalami resesi seks di masa depan? Jika melihat faktor yang menyebabkan terjadinya resesi seks di Amerika, maka jawabannya menurut opini saya lebih kecil kemungkinannya terjadi resesi seks di Indonesia dibandingkan dengan Amerika.

Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan mencolok kultur antara Indonesia dan Amerika, di mana jika di Amerika angka seks bebasnya lebih tinggi karena anak muda yang lebih banyak diizinkan melakukan hubungan seks pranikah selama menggunakan pengaman. Sementara di Indonesia lebih mempromosikan abstinen atau menghindari hubungan seks pranikah, walaupun tentu tak dapat dipungkiri masih ada anak muda yang melakukan seks bebas.

Itulah mengapa jika dilakukan survey, di Amerika akan lebih banyak terjadi penurunan jumlah hubungan seksual karena sebelumnya anak muda yang melakukan hubungan seks pranikah menjadi menurun karena adanya perkembangan zaman yang menyebabkan terjadinya 5 faktor di atas.

Poin mengenai zero growth sendiri menarik untuk diulas lebih lanjut. Memang beberapa provinsi menunjukkan angka tersebut, tetapi sayangnya saya belum menemukan ada data yang mendalami lebih lanjut apa penyebab terjadinya zero growth tersebut. Apakah karena memang banyak pasangan yang memilih childfree, atau justru dikarenakan semakin tingginya angka gangguan kesuburan dan angka kematian?

Gangguan kesuburan alias infertilitas merupakan isu global, di mana kejadiannya semakin tinggi akibat semakin parahnya polusi dan lingkungan juga pula hidup yang tidak sehat. Banyaknya pasangan yang mengalami gangguan kesuburan tentu juga dapat berpengaruh terhadap zero growth ini sehingga tidak dapat dikesampingkan. Belum lagi kemungkinan pengaruh tingginya angka kematian karena tingginya angka penyakit infeksi beberapa tahun belakangan.

Sayangnya hingga saat ini, belum ada data yang mengulas penyebab pasti di balik zero growth ini dan berapa banyak pasangan yang benar-benar melakukan childfree. Melihat dari fenomena-fenomena tersebut, sepertinya isu resesi ekonomi lebih menarik untuk diwaspadai dalam waktu dekat di Indonesia.

Artikel ini telah direview oleh:
dr. Jefry Albari Tribowo, Sp.And

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top